Mencintai Nabi, Mencintai Syariahnya

MENCINTAI NABI, MENCINTAI SYARIAHNYA

Pada bulan yang istimewa ini, kaum Muslim senantiasa memperingati momentum maulid Nabi Muhammad –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, kelahiran sosok agung pembawa risalah Islam yang diutus Allah –Ta’âlâ- untuk seluruh umat manusia (kâffata li al-nâs, lihat: QS. Saba’ [34]: 28) dan sebagai rahmat bagi semesta alam (lihat: QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107).

Perhatian kaum Muslim terhadap momentum peringatan maulid, diakui sebagai salah satu bentuk ekspresi kecintaan (mahabbah) terhadap beliau –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, dimana kecintaan (mahabbah) tersebut memang wajib ditumbuhkan dan dipupuk, serta dibuktikan dengan benar sesuai taujih nabawi itu sendiri, bagaimana sebenarnya mendudukkan persoalan mahabbah ini dalam persepektif nabawi?

MENGHIDUPKAN SUNNAH RASULULLAH, BUKTI CINTA KEPADANYA

Salah satu hadits yang mengandung pesan penting terkait membuktikan kecintaan terhadap Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, adalah hadits dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

«مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ»

“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja yang mencintaiku, maka ia bersamaku menjadi penghuni surga.” (HR. Al-Tirmidzi, al-Thabarani, dll)[1]

Hadits ini mengandung informasi berharga bagi mereka yang mengaku mencintai Nabi Muhammad –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, mengingat hadits yang agung ini mengandung petunjuk dari beliau –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, berkaitan dengan cara membuktikan kecintaan tersebut, berikut ganjaran dari Allah bagi siapa saja yang benar-benar membuktikan cintanya.

Penjelasan lebih terperinci diuraikan Imam Izzuddin al-Shan’ani (w. 1182 H) bahwa menghidupkan sunnah, terwujud dengan mengamalkannya, menyiarkannya, dan menafikan penyimpangan kaum yang menyimpang atasnya.[2] Sehingga hadits ini menunjukkan secara jelas, motivasi yang kuat bagi setiap hamba Allah yang mengaku cinta pada nabi –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, untuk mempelajari sunnahnya, mengamalkannya, menyiarkannya serta membelanya dari penyimpangan kaum sesat dengan meluruskan penyimpangannya, sesuatu yang lazim dilakukan oleh seseorang yang mengaku mencintai sesuatu, sebagai pembuktian bagi pengakuan cintanya.

Kata sunnati, berkonotasi thariqi, yakni jalan hidupku,[3] mencakup seluruh ajaran-ajaran yang beliau gariskan untuk umatnya, baik berupa ucapan (qauliyyah), perbuatan (fi’liyyah) yang dicontohkan Rasulullah–shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- bagi umatnya. Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) menguraikan:

Sunnah asalnya bermakna thariqah (metode) dan sirah (jalan hidup), dan disebutan secara syar’i, yang dimaksud dengannya adalah apa-apa yang Nabi –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- perintahkan, dan beliau –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- larang, serta puji baik berupa perkataan, maupun perbuatan, selain ungkapan ayat al-Qur’an.[4]

Dimana gambaran hidup Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, menggambarkan keteladanan praktis penegakkan Islam secara totalitas (kâffah) dalam seluruh aspek kehidupan, dari mulai kehidupan pribadi, keluarga, hingga kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari mulai perkara syahadat dan shalat, hingga urusan imamah dan siyasah.

Selanjutnya, mencintai Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- adalah syarat menjadi penghuni surga, sebagaimana Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- memasukinya, berdasarkan ungkapan (مَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ).

Imam Izzuddin al-Shan’ani menguraikan makna (فَقَدْ أَحَبَّنِي), yakni benar-benar cinta kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, karena sesungguhnya siapa saja yang mencintai seseorang, maka ia akan bertingkah laku seperti pihak yang dicintainya, maka tanda cinta seseorang kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- adalah bertingkah laku sesuai sunnahnya, menolong sunnahnya, serta menyeru manusia kepadanya.[5]

Mencintai Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- merupakan tuntutan keimanan dan sifat yang terpuji. Al-‘Allamah al-Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1314 H) menguraikan bahwa cinta kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- termasuk sifat yang terpuji, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik r.a., dari Nabi –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

«لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا»

“Tidak beriman salah satu di antara kamu, hingga menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada kepada selain keduanya.” (HR. Ahmad, al-Bazzar)[6]

Frasa (لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ) berkonotasi tidak beriman dengan iman yang sempurna (îmân[an] kâmil[an]), yang menunjukkan kesempurnaan iman dibuktikan dengan menjadikan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya, dimana kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, dibuktikan dengan cara ittiba’ terhadap Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ {٣١}

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Âli Imrân [3]: 31)

BERPEGANG TEGUH KEPADA SUNNAHNYA

Berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- merupakan gambaran ittiba’ kepada beliau, yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Allah –Ta’âlâ- berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا {٢١}

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 21)

Allah yang memberikan pujian, menunjukkan kebenaran pihak yang dipuji, karena Allah yang Maha Benar tidak mungkin keliru dalam menilai hamba-Nya, dimana Dia memberikan predikat kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- sebagai uswat[un] hasanat[un] (teladan yang baik) bagi kita, yang disebut Imam al-Baghawi (w. 516 H) sebagai qudwah shâlihah (panutan yang shalih).[7] Dalam ayat ini pun terdapat dua penegasan (taukîd) yakni lâm dan qad di depan kata kerja lampau (al-fi’l al-mâdhi) yang berfaidah menafikan segala bentuk keraguan dan pengingkaran terhadap kebenaran informasi yang disampaikan, dan menuntut pembenaran atasnya tanpa ada sedikit pun keraguan.[8] Dimana ayat yang agung ini pun dinukil oleh Dr. Muhammad bin Hamid Hawari untuk menegaskan wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-.

Allah –Ta’âlâ- pun berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ {٧}

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata telah mendengar Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

«مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»

“Apa-apa yang aku larang atas kalian maka jauhilah ia, dan apa-apa yang aku perintahkan kepada kalian maka laksanakanlah ia sesuai dengan kemampuan kalian (dengan segenap kemampuan-pen.).” (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Majah, al-Bazzar dan al-Thabarani. Lafal Muslim)[9]

Kata mâ dalam ayat dan hadits di atas menjadi petunjuk keumuman pesan dalam keduanya, perintah melaksanakan apa yang Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- contohkan dan ajarkan kepada umatnya, termasuk metode dakwah dalam upaya menegakkan kehidupan Islam menerapkan Islam kâffah dalam kehidupan. Menetapinya merupakan bentuk ittibâ’ terhadap Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- yang memang diwajibkan Allah –Ta’âlâ-, dan Dia jadikan sebagai salah satu syarat meraih kemenangan.

Syaikh Nawawi al-Bantani menguraikan bahwa salah satu bukti mahabbah kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- adalah dengan meniti jalannya, melaksanakan sunnahnya, ittiba’ terhadap perkataan dan perbuatannya, menunaikan perintahnya, dan menjauhi larangannya, beradab sesuai dengan adabnya, baik dalam keadaan susah maupun senang, sebagaimana diuraikan oleh Imam al-Ramli al-Syafi’i.[10] Mencakup sunnah qauliyyah Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- yang mewasiatkan umatnya untuk berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah, menegakkan Islam totalitas dalam kehidupan.

Hal itu diperjelas nash-nash lainnya yang menunjukkan kewajiban ittibâ’ kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-. Allah –Ta’âlâ- pun berfirman:

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {١٥٣}

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’âm [6]: 153)

Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- pun pernah membuat garis di depan para sahabatnya dengan satu garis lurus di atas pasir, sementara di kanan kiri itu beliau menggariskan garis-garis yang banyak. Lalu beliau bersabda, “Ini adalah jalanku yang lurus, sementara ini adalah jalan-jalan yang di setiap pintunya ada syaithan yang mengajak ke jalan itu.” Kemudian Nabi –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- membaca QS. Al-An’âm [6]: 153 yang memerintahkan kita mengikuti jalan yang lurus serta melarang untuk mengikuti jalan yang lain. Kalimat (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ) dalam ayat ini, menunjukkan hikmah dibalik seruan tersebut, yakni sebagai realisasi ketakwaan pada-Nya.

Selain itu, Allah telah mengancam orang-orang Islam yang menyalahi jalan Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- dengan ancaman musibah dan azab yang pedih (QS. Al-Nûr [24]: 63), Allah pun berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا {١١٥}

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir-pen.) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 115)

Diperjelas dalil-dalil al-Sunnah, yang secara tegas melarang kaum Muslim menyimpang dari jalan beliau –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, yakni dengan mengambil jalan kaum yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yang tersesat dari jalan-Nya. Salah satunya hadits dari Ibn Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

«لَتَتَّبِعُنَّ سنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ»

“Sungguh kamu mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga salah seorang dari mereka masuk lubang biawak pun sungguh kamu mengikutinya.”

Para sahabat lantas bertanya, “Apakah mereka kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari, Muslim)

MENEGAKKAN SUNNAH RASULULLAH: MENEGAKKAN ISLAM KÂFFAH

Salah satu sunnah qauliyyah Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, adalah wasiat monumentalnya pada Haji Wada’ (haji perpisahan), yang mewasiatkan umatnya untuk berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah, menjadikannya sebagai pedoman hidup:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»

“Wahai umat manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi dan lainnya)

Hadits ini mengandung pesan umum bagi manusia, mencakup kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya secara praktis. Wasiat Nabi –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- ini merupakan wasiat agung yang ditujukan kepada umat manusia secara umum, termasuk pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim pada umumnya.

Wasiat Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- ini, mengandung perintah fardhu untuk berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah, mencakup kewajiban menjadikan keduanya sebagai dasar negara dan hukum perundang-undangan, mencakup aspek politik dalam negeri maupun luar negeri, fardhu dengan petunjuk (qarînah) adanya janji keselamatan dari kesesatan, diperkuat dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah lainnya.

Hal itu sebagaimana ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, yang menegakkan institusi politik Islam berpusat di Madinah al-Munawwarah, diteruskan oleh para sahabat al-khulafâ’ al-râsyidûn pada periode yang disebut Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits hasan riwayat Imam Ahmad, sebagai periode al-khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah. Ditegaskan para ulama dalam turats mereka yang menguraikan kewajiban menegakkan institusi Khilafah ini dalam kehidupan, sebagai ajaran Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- dan disepakati para sahabat dengan konsensus (ijma’) mereka.

Dimana itu semua memahamkan kita secara terang benderang, bahwa penerapan Islam dalam kehidupan membutuhkan kekuasaan politik, yang ditafsirkan oleh Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- dalam bentuk praktis yakni dengan tegaknya institusi politik, negara Islam (al-daulah al-Islâmiyyah). Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)–begitu pula para ulama lainnya- mengumpamakannya sebagai saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان توأمان)[11], lalu Al-Ghazali pun menegaskan:

الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع

“Al-Dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”[12]

Merealisasikan itu semua bagian dari menyambut seruan Allah yang berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ {٢٤}

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfâl [8]: 24)

MENOLONG RASULULLAH, SUNNAHNYA DAN GOLONGANNYA

Menolong Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, sunnahnya dan golongannya (ahl al-sunnah), termasuk dalam cakupan menolong DinuLlah dalam QS. Muhammad [47]: 7:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ {٧}

“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong (Din) Allah, maka Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad [47]: 7)

Dalam ayat yang agung ini, Allah menggunakan bentuk ungkapan syarat dan jawabnya (al-jumlah al-syarthiyyah), dengan perangkat (adat al-syarth) yakni in (إِنْ): jika kalian menolong Allah (إن تنصروا الله). Kalimat menolong, setelah sebelumnya diawali dengan seruan yang berkaitan dengan keyakinan (akidah), menunjukkan bahwa aktivitas menolong ini merupakan aktivitas yang berkenaan dengan perbuatan (hukum syara’) yang dilandasi oleh keimanan (akidah Islam), tidak terpisahkan.

Istimewanya, dalam kalimat ini Allah menisbatkan pertolongan hamba-hamba-Nya kepada-Nya, padahal Allah Maha Kuasa atas segala perkara, tidak membutuhkan pertolongan makhluk-Nya.

Imam Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi (w. 338 H) dan al-Qadhi Badruddin Ibn Jama’ah al-Syafi’i (w. 733 H) menjelaskan bahwa bentuk ungkapan tersebut merupakan bentuk kiasan (majâz).[13] Pada ayat tersebut yang disebutkan langsung dinisbatkan kepada ”Allah”, namun maksudnya adalah dînuLlâh (agama Allah). Perinciannya, yakni dengan menghilangkan bentuk idhâfah dari kata Allah[14]: yakni menghilangkan kata dîn di depan lafal jalâlah (Allah), karena makna sebenarnya adalah menolong Rasul-Nya, Dîn-Nya[15], syari’at-Nya, dan kelompok pembela Dîn-Nya (hizbuLlâh)[16], dalam ilmu balaghah (al-ma’âni), ini yang diistilahkan al-îjâz bi al-hadzf (bentuk meringkas perkataan dengan menghilangkan bagian), yang berfaidah lebih menguatkan makna yang dikehendaki daripada penyebutannya secara lengkap.[17]

Relevansinya dalam ayat ini, menunjukkan pentingnya perbuatan menolong agama Allah, karena seakan menisbatkan pertolongan makhluk langsung pada Allah ’Azza wa Jalla, ini sudah cukup menunjukkan besarnya kedudukan amal perbuatan tersebut, sehingga cukup menjadi dorongan kuat, targhîb, bagi hamba Allah yang mencintai-Nya, Din-Nya dan mengharapkan perjumpaan dengan-Nya. Bahkan jika seandainya Allah tidak menginformasikan ganjaran agung bagi mereka yang menolong Din-Nya: {يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ}.

Jika lantas timbul pertanyaan, “Dengan cara apa menolong dînuLlâh?” Jawabannya, yakni dengan beriman dan beramal shalih, salah satunya dengan berdakwah dengan meniti metode dakwah Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, dakwah pemikiran, memahamkan umat agar menjadikan Islam sebagai ideologi kehidupan.

JANJI KEMENANGAN BAGI YANG MENOLONG SYARIAHNYA

Kalimat {يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ} merupakan jawaban (jawâb al-syarth) jika terpenuhinya apa yang menjadi syarat yakni ”menolong dînuLlâh” {إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ}. Pertolongan dari Allah, merupakan pertolongan untuk meraih keberhasilan atau keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Imam al-Sam’ani menafsirkan makna al-nashr minaLlâh (pertolongan dari Allah) yakni al-hifzh (pemeliharaan dan penjagaan dari segala keburukan) dan al-hidâyah (bimbingan petunjuk untuk senantiasa berada di atas kebenaran).

Ungkapan agung yutsabbit aqdâmakum (Dia akan meneguhkan kaki-kaki kalian), merupakan bentuk kiasan (majâz mursal), disebutkan sebagian yakni aqdâm (kaki-kaki) padahal yang dimaksud adalah keseluruhan diri orang yang Allah teguhkan (ithlâq al-juz’i wa irâdat al-kulli). Digunakan istilah kaki-kaki ini, karena ia adalah alat untuk berpijak (adât al-tsabât), sebagaimana diuraikan oleh Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili[18]. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan rasa, menggambarkan keteguhan, yakni teguh dalam Islam, dan dalam peperangan (jihad)[19], serta teguh dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk tantangan-tantangan dalam berdakwah, sebagaimana dialami oleh para nabi dan rasul –’alaihi al-salâm-.

Bukankah tiada kenikmatan yang lebih agung daripada nikmat iman dan Islam? Hingga Allah berfirman:

وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ {١٠٢}

“Dan janganlah sekali-kali kamu (wahai orang-orang yang beriman) mati melainkan dalam keadaan Islam.” (QS. Âli Imrân [3]: 102)

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., bahwa Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

«مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبّاً، وَبِالإسْلاَمِ ديناً، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً، وَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ»

“Siapa saja yang ridha Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai Din-nya, Muhammad sebagai rasul baginya, maka wajib baginya ganjaran surga.”

Maka Abu Sa’id merasa takjub, lalu ia berkata: “Tolong ulang kembali untukku wahai Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-?” Kemudian Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- mengulang kembali perkataannya (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Hibban, al-Nasa’i)[20]

PENUTUP

Inilah makna mencintai Nabi yakni mencintai syariahnya. Mencintai syariahnya terwujud dengan menghidupkan sunnahnya dengan mengupayakan tegaknya Islam secara totalitas dalam kehidupan. Kecintaan itulah yang mengantarkan seorang Muslim berada di barisan pejuang yang memperjuangkan Din al-Islam.

Keteladanan, keteguhan, dan pengorbanan beliau –shallâLlâhu ’alayhi wa sallam- dalam mengemban dakwah Islam ini, sudah seharusnya menggugah nafsiyyah kita, dakwah menuju Islam kâffah. Untaian bait sya’ir salah seorang sahabat berikut ini, cukup menggambarkan semangat beramal mereka ketika bersama Rasulullah membangun masjid, pada awal tegaknya kehidupan Islam di Madinah:

لَئِنْ قَعَدْنَا وَالنَّبِيُّ يَعْمَلُ * لَذَاكَ مِنَّا الْعَمَلُ الْمُضَلّلُ

“Betapa kita duduk menganggur, sedangkan Nabi asyik bekerja * Sungguh ia perbuatan sesat menyesatkan.”[21]

Tentu kaum Muslim tak ingin seperti kaum yang duduk-duduk berdiam diri, berpangku tangan menunggu pertolongan turun dari langit untuk membangkitkan kaum Muslim dalam tidurnya yang panjang, padahal Rasulullah –shallâLlâhu ’alayhi wa sallam- telah beramal, dan memberikan keteladanan sebaik-baiknya keteladanan. Dan kita, sebagaimana sya’ir yang dinukil al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H):

نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا * تَبْنِي، وَنَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلُوْا

“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun * Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[22]

Allâhu a’lam. [IAN/YRT]

Catatan Kaki:

[1] HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2678, bab بَابُ مَا جَاءَ فِي الأَخْذِ بِالسُّنَّةِ وَاجْتِنَابِ البِدَعِ), ia berkata: “Hadits ini hasan gharib dari jalur ini.”; Abu Abdillah al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadr al-Shalât (no. 714); Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Awsath (no. 9439); Al-Lalika’i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (no. 8); Ibn Baththah dalam al-Ibânah al-Kubrâ (no. 51); Ibn Syahin dalam Al-Targhîb fi Fadha’il al-A’mal (no. 527).
[2] Muhammad bin Isma’il ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, cet. I, 1432 H, juz X, hlm. 55.
[3] Ubaidullah al-Rahmani al-Mubarakfuri, Mir’ât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, India: Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyyah, cet. III, 1404 H, hlm. 281.
[4] Majduddin Abu al-Sa’adat Al-Mubarak Ibn al-Atsir, Al-Nihâyah fi Gharib al-Hadîts, Beirut: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1399 H, juz II, hlm. 409.
[5] Muhammad bin Isma’il ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz X, hlm. 55.
[6] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 13151) Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari “Sanadnya shahih sesuai syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim)”; Al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 7540).
[7] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, Dâr Thayyibah, cet. IV, 1417 H, hlm. 420.
[8] Dalam persepektif ilmu balaghah (ilm al-ma’âni) keberadaan kata-kata taukîd (penegasan) yang lebih dari satu semisal lâm dan kata qad di depan al-fi’l al-mâdhi berfaidah menafikan segala bentuk pengingkaran, terlebih lagi keraguan dan menuntut pembenaran akan kebenaran berita yang disampaikan, ini dinamakan pula khabar inkari. Lihat: Abdullah al-Hamid dkk, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 39.
[9] HR. Muslim dalam Shahih-nya (no. 6184); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 10255); Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 1); Al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 7658); Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (no. 8773).
[10] Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq fî Syarh Sullam al-Taufîq, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm. 104.
[11] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H, hlm. 128.
[12] Ibid. Penuturan senada diutarakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H), Imam al-Qal’i al-Syafi’i (w. 630 H), Imam Ibn al-Azraq al-Gharnathi (w. 896 H), dan lainnya.
[13] Yakni dalam tinjauan ilmu balaghah: ‘ilm al-bayân. Lihat: Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, juz IV, hlm. 119; Badruddin Ibn Jama’ah, Îdhâh al-Dalîl fî Qath’i Hujjaj Ahl al-Ta’thîl, Mesir: Dâr al-Salâm, cet. I, 1410 H, hlm. 117.
[14] Abu al-Fath ‘Utsman bin Jinni al-Maushuli, Al-Muhtasib fî Tabyîn Wujûh Sawâdz al-Qirâ’ât wa al-Îdhâh ‘anhâ, Wizârat al-Awqâf, 1420 H/1999, juz I, hlm. 188.
[15] Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, juz IX, hlm. 31.
[16] Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, juz VIII, hlm. 42.
[17] Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, hlm. 51.
[18] Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, juz ke-26, hlm. 83.
[19] Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, juz IX, hlm. 31.
[20] HR. Muslim dalam Shahîh-nya (no. 1884); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 11117); Ibn Hibban dalam Shahîh-nya (no. 4612), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Hadits hasan gharib”; Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath (no. 8742); Al-Nasa’i dalam Sunan-nya (no. 3131).
[21] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir, Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Dâr Hijr, cet. I, 1418 H/1997, juz IV, hlm. 535.
[22] ’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, cet. III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, juz I, hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr al-Thayyibah, juz I, hlm. 24; Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab, Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz I, hlm. 132.

Kemerdekaan Hakiki

Mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah SWT sesungguhnya berarti mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk umat manusia. Inilah yang merupakan misi utama Islam. Dalam pandangan Islam, kemerdekaan hakiki terwujud saat manusia terbebas dari segala bentuk penghambaan dan perbudakan oleh sesama manusia. Dengan kata lain Islam menghendaki agar manusia benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman, perbudakan dan penghambaan oleh manusia lainnya.

Terkait misi kemerdekaan Islam ini, Rasulullah saw pernah menulis surat kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi:

«… أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ …»

…Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)… (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).

Misi Islam mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat manusia itu juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Mughirah bin Syu’bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Pernyataan misi itu diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum dengan Rabi bin Amir (utusan Panglima Saad bin Abi Waqash ra). Ia diutus setelah Mughirah bin Syu’bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia.

Jenderal Rustum bertanya kepada Rabi bin Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rabi bin menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam…” (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, II/401).

Allah SWT berfirman:

﴿الر.كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ﴾

Alif, laam raa. (Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji (TQS Ibrahim [14]: 1).

Harus dicatat, mewujudkan kehidupan dan masa depan yang “terang-benderang” sekeligus memerdekakan manusia dari segala bentuk penjajahan kuncinya adalah dengan menerapkan Islam dan syariahnya secara kaffah; secara totalitas dan menyeluruh. Sebagaimana dalam firman-Nya

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh nyata kalian.
(TQS al-Baqarah [2]: 208)

Itulah tanggung jawab dan kewajiban kita sebagai hamba Allah dan tanggung jawab kita kepada umat manusia.

WalLâh alam bi ash-shawâb

Apa itu Tabbaruj

Apa Itu TABARRUJ ?

Bagi seorang wanita Tabarruj itu adalah berhias diri dengan menampakkan kecantikan atau memperlihatkan Aurat (Perhiasan) agar di lihat atau menjadi perhatian kaum Adam (Laki-Laki) yang bukan Muhrim

Ciri ciri Tabbaruj

✔ Berhias (Mempercantik) diri secara berlebihan agar ingin dilihat orang banyak
✔Memakai Parfum wangi-wangian keluar Rumah sehingga membangkitkan syahwat kaum Adam (Laki – Laki)
✔ Membuka Kerudung dan Berpakaian dengan menampakan lekungan tubuh (Aurat)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita adalah aurat, apabila dia keluar, setan menghiasinya (pada pandangan lelaki, -pen.).” ( HR. at- Tirmidzi no. 1176, beliau berkata,“Hadits ini hasan sahih.”)

dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah ada sepeninggalku nanti suatu fitnah (ujian/cobaan/godaan) yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki melebihi (fitnah) wanita.” (HR. al-Bukhari no. 5096 dan Muslim)

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَـٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ

“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)

Dalam Lisanul ‘Arab (3/33) dijelaskan bahwa tabarruj adalah seorang wanita menampilkan perhiasannya serta menampakkan wajah dan keindahan tubuhnya di hadapan lelaki. Begitu pula (menampakkan) segala sesuatu yang bisa membangkitkan syahwat mereka (lelaki) dan berlenggak-lenggok di dalam berjalan. (Ini semua termasuk tabarruj, -pen.) selama bukan untuk suaminya.

 

Berpakaian juga tabarruj:

• Wanita yang berpakaian mini baik tampak bagian atasnya saja, seperti rambut, leher, bagian dada, lengan, dan semisalnya, lebih parah lagi yang tampak bagian antara dada dan lutut; dan lebih parah lagi tampak bagian kehormatannya; maupun tampak bagian bawahnya, seperti kaki, betis, atau pahanya.

• Wanita yang berpakaian ketat hingga tampak keindahan lekuk-lekuk tubuhnya, walaupun menutupi anggota fisiknya. Lebih parah lagi ketika dia mengenakan pakaian ketat dengan warna kain yang sama dengan kulitnya seolah-olah tidak berbusana.

• Wanita yang berpakaian panjang menutupi seluruh tubuh, namun tipis menerawang hingga tubuh dalamnya kelihatan.

Para wanita seperti inilah yang diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan neraka. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuberkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا (وَذَكَرَ): وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَ

“Dua jenis ahli neraka aku belum pernah melihat mereka (sebelumnya)…” lalu beliau menyebutkan, “Dan wanita wanita yang berpakaian namun telanjang, menyimpangkan (orang yang melihatnya), berlenggak-lenggok (jalannya), dan kepala mereka seperti punuk unta yang miring.

Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan mencium aromanya, padahal aroma surga dapat dicium dari jarak sekian dan sekian….” (HR. Muslim no. 2128)

 

Jadi janganlah seorang wanita menggerakkan kakinya dengan keras terhadap tanah sementara dia berjalan supaya keluar suara dari gelang kaki sehingga laki-laki tahu bahwa wanita tersebut memakai perhiasan di pergelangan kakinya di bawah pakaian. Semua ini berarti bahwa tabarruj itu secara bahasa dan syar’iy adalah perhiasan yang menarik pandangan/perhatian.

Pakaian seperti apakah yang sesuai syariat islam, atau disebut juga Pakaian Takwa.

Allah SWT berfirman:

﴿وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ﴾

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” (TQS an-Nûr [24]: 31)

Maksudnya, hendaknya para wanita mengulurkan kain penutup kepalanya ke leher dan dada mereka, untuk menyembunyikan apa yang nampak dari belahan gamis (baju) dan belahan pakaian, berupa leher dan dada. Dan Allah SWT berfirman mengenai pakaian wanita bagian bawah:

﴿يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ﴾

“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (TQS al-Ahzâb [33]: 59)

Yakni, hendaknya para wanita mengulurkan pakaian yang mereka kenakan di sebelah luar pakaian keseharian ke seluruh tubuh mereka untuk keluar rumah, berupa milhafah (mantel) atau mulâ’ah (baju kurung/jubah) yang mereka ulurkan sampai ke bawah. Allah SWT berfirman tentang tata cara secara umum pakaian tersebut dikenakan:

﴿وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا﴾

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya”. (TQS an-Nûr [24]: 31)

Yakni, janganlah mereka menampakkan anggota tubuh mereka yang menjadi tempat perhiasan seperti telinga, lengan, betis, atau yang lainnya, kecuali apa yang biasa nampak di kehidupan umum pada saat turunnya ayat tersebut, yakni pada masa Rasulullah SAW, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Dengan pendeskripsian yang rinci ini, menjadi amat jelaslah, apa pakaian wanita di kehidupan umum dan apa yang wajib terpenuhi berkaitan dengan pakaian tersebut. Dan datang hadits Ummu ‘Athiyyah yang menjelaskan secara gamblang tentang wajib adanya pakaian untuk wanita yang ia kenakan di atas pakaian kesehariannya pada saat ia keluar rumah. 

Karena Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasul saw, 

«إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ» 

-salah seorang di antara kami tidak punya jilbab-“. Lalu Rasul saw kemudian bersabda, 

«لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهُا مِنْ جِلْبَابِهَا» 

–Hendaklah saudarinya mamakaikan jilbabnya kepada wanita itu-”. 

Artinya, ketika Ummu ’Athiyah berkata kepada Rasul saw: jika wanita itu tidak memiliki pakaian yang dia kenakan di atas pakaian sehari-hari untuk keluar rumah”, maka Rasulullah saw memerintahkan agar saudarinya meminjaminya pakaiannya yang dia kenakan di atas pakaian sehari-hari.

Maknanya adalah, jika tidak ada yang meminjaminya, maka yang bersangkutan tidak boleh keluar rumah. Ini merupakan qarînah

(indikasi) yang menunjukkan bahwa perintah yang ada di dalam hadits ini adalah wajib.

Artinya seorang wanita wajib mengenakan jilbab di atas pakaian kesehariannya jika ia ingin ke luar rumah. Jika ia tidak mengenakan jilbab, ia tidak boleh ke luar rumah.

Jilbab itu disyaratkan agar diulurkan ke bawah sampai menutupi kedua kaki.  Karena Allah SWT telah berfirman:

﴿يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ﴾

“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (TQS al-Ahzâb [33]: 59)

Yakni, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Sebab kata min dalam ayat ini bukan li at-tab‘îd (untuk menunjukkan sebagian), tetapi li al-bayân (untuk penjelasan). 

Artinya, hendaklah mereka mengulurkan mulâ’ah (baju kurung/jubah) atau milhafah (mantel) ke bawah.

Dan juga karena telah diriwayatkan dari lbnu ‘Umar, ia menuturkan: ”Rasulullah saw pernah bersabda:

«مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ» أخرجه الترمذي وقال هذا حديث حسن صحيح

“Siapa saja yang mengulurkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada Hari Kiamat.”

Ummu Salamah bertanya, “lalu, bagaimana para wanita memperlakukan ujung pakaian mereka?” Rasulullah SAW menjawab, “Hendaklah mereka ulurkan sejengkal.

”Ummu Salamah berkata lagi, “Kalau begitu, akan tampak kedua telapak kaki mereka.” Rasulullah menjawab lagi, “Hendaklah mereka ulurkan sehasta dan jangan ditambah lagi.” (HR Tirmidzî dan ia berkata ini adalah hadits hasan shahih

bahwa ayat yang mulia:

﴿يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ﴾

“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (TQS al-Ahzâb [33]: 59)

Menujukkan bahwa jilbab itu satu potongan. Kata min di sini adalah li al-bayân (untuk penjelasan) yakni hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. 

Al-idnâ`(penguluran) dinisbatkan kepada jilbab. Ini berarti bahwa jilbab itu satu potongan yang diulurkan ke bawah. Dan tidak berupa dua potong, sesuai lafazh-lafazh ayat yang mulia tersebut. Sebab al-idnâ` dinisbatkan, seperti yang kami katakan, kepada jilbab.

Jika jilbab itu dua potongan maka dua potongan itu wajib diulurkan ke kedua kaki dan dengan begitu yang satu di atas yang lain, sehingga jilbab adalah hanya potongan yang luar yang diulurkan dari leher hingga kedua kaki… Begitulah, susunan “redaksi etimologis” menegaskan bahwa jilbab itu satu potongan sebab kata al-idnâ` dinisbatkan kepada jilbab seperti yang telah kami jelaskan….

Dan tentu saja, di samping apa yang kami sebutkan berupa pengulangan kata tsawb … Dan apa yang kami jelaskan sebelum hal itu yaitu bahwa jilbab adalah pakaian longgar yang dikenakan wanita di atas pakaianya yang biasa dan diulurkan sampai kedua kaki….

– Islam telah menekankan pakaian syar’iy ini sampai Islam tidak mengijinkan wanita untuk keluar jika tidak punya jilbab, tetapi ia harus meminjam jilbab dari saudarinya agar dia dapat keluar.

Jadi tidak cukup dia menutup auratnya dengan suatu pakaian, tetapi harus dengan jilbab dan kerudung dan tanpa tabarruj.

Ulama Pewaris Nabi

“ULAMA WAROSATUL ANBIYA”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنَ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. al-Imam at-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimah-nya, serta dinyatakan sahih oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih at-Targhib, 1/33/68)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَعِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)

  • Ciri-ciri ulama’ pewaris nabi yang pertama ialah takut kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana Firman Allah.

إنما يخشى الله من عباده العلمــؤا إن الله عزيز غفور

“….. Sesungguhnya golongan yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya ialah para ulama’. Sesungguhya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,”

(QS. Al-Fathir: 28)

Ibnu Abbas berkata, “Sesiapa yang takut kepada Allah, maka dia adalah orang alim”.

  • Ciri kedua ialah beramal dengan segala ilmunya. Sebagaimana sebuah hadist dalam Sunan Ad-Darimi :

فَإِنَّمَا العَالِم مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ

“Sesungguhnya orang alim itu adalah orang yang beramal dengan apa yang dia ketahui.”

Sayyidina Ali berkata, “Wahai orang yang mempunyai ilmu! beramallah kamu dengannya karena sesungguhnya orang yang alim itu adalah orang yang beramal dengan ilmu yang dia ketahui, serta selaras antara ilmunya dengan amalannya”.

  • Ciri ketiga hatinya bersih daripada syirik dan maksiat, serta tidak tamak dan tidak cinta dunia.

Ibnu Umar berkata, “Tiadalah seseorang lelaki itu dianggap alim sehingga dia tidak hasad dengki kepada orang yang lebih alim daripadanya, tidak menghina orang yang kurang daripadanya serta tidak mencari dengan ilmunya upahan kebendaan”.

  • Ciri keempat ulama’ ini meneruskan tugas nabi, yaitu mengajar, mendidik, membersihkan hati umat daripada syirik dan maksiat serta berdakwah lillah dan mengajak taat perintah Allah dan Rasul-Nya,

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman apabila diajak untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul itu memberikan keputusan hukum di antara mereka hanyalah dengan mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat”. Dan hanya merekalah orang-orang yang berbahagia.” 

(QS. An Nuur [24]: 51)

 

Imam Syafi’i (Rohimahullah) pernah ditanya oleh salah satu muridnya tentang bagaimana caranya kita mengetahui pengikut kebenaran di akhir zaman yang penuh fitnah?.

Jawab beliau,

”Perhatikanlah panah-panah musuh (ditujukan kepada siapa) maka akan menunjukimu siapa pengikut kebenaran”…

Ulama yang paling dibenci dan tidak disukai orang kafir

Ulama yang paling tidak disukai orang munafik

Ulama yang keras terhadap orang kafir yang mengganggu

Ulama yang lemah lembut terhadap orang Islam

Ulama yang selaras antara ucapan dan perbuatan

Ulama yang tidak peduli dengan caci maki orang kafir sejauh ia menyuarakan kebenaran

Ulama yang jika kita memandangnya dan mendengar petuahnya semakin membuat hati kita semangat untuk lebih rajin beribadah

Semoga kita diselamatkan dari fitnah dunia dan fitnah dajjal yang sepertinya semakin dekat kemunculannya.